Lebaran adalah hari kemenangan bagi setiap muslim yang telah menjalankan rangkaian ibadah di bulan suci ramadan secara sempurna. Setiap daerah memiliki tradisi unik dalam merayakan momen spesial ini. Yang paling lumrah adalah bersilaturrahmi dan saling memohon maaf ke sanak keluarga dan saudara-saudara islam lainnya. Sebab, bulan Syawal merupakan bulan yang penuh limpahan berkah serta ampunan dari Allah SWT. Di hari fitri ini lah umat muslim diberikan waktu khusus untuk kembali meperbaiki hubungan baik kepada Allah dan sesama manusia.
Tradisi lainnya yang tak kalah unik, bahkan menduduki maqom internasional adalah mudik. Yakni proses hijrah dari tanah rantau menuju tanah kelahiran, untuk melepas rasa rindu dan menyantap masakan spesial buatan orang tua. Mudik menjadi agenda tahunan yang paling ditunggu-tunggu. Setiap gaji dari hasil kerja di negeri orang, mereka sisihkan untuk persiapan membeli oleh-oleh. Emas berkarat tinggi pun menjadi impian anak rantau untuk dihadiahkan kepada ibu tercinta. Namun, yang terpenting dalam tradisi mudik ini adalah bisa kembali berkumpul bersama keluarga besar di kampung halaman.
Suguhan wajib yang paling dielu-elukan di hari spesial ini adalah ketupat dengan opor ayam yang lumer. Cita rasanya yang menyentuh dan menggoyangkan lidah tak dapat ditukar dengan burger Italy, yang harganya mencapai jutaan dolar. Jika dikalkulasikan, harga burger Italy bisa membuat satu kampung menikmati suguhan wajib di momen lebaran ini , lengkap dengan es buah dan THRnya. Ini membuktikan bahwa nilai uang kita masih berbanding jauh dengan mereka.
Selain ketupat dan opor ayam, masih banyak lagi makanan-makanan yang hanya bisa memanjakan lidah kita di hari lebaran saja. Seperti ketan yang diolah menjadi bubur, dan adonan-adonan lainnya yang melahirkan berbagai varian rasa jajanan nusantara. Setiap daerah menamai jajanan tersebut dengan nama-nama yang berbeda. Bahkan ada makanan yang sejenis, tetapi beda nama, atau sebaliknya. Menurut kebisaan masyarakat daerah Bali, tapai dibuat dengan adonan ketan dan ragi, dibungkus dengan daun pisang, dan didiamkan sampai dua atau tiga hari. Sedangkan di Jawa, tapai terbuat dari bahan dasar singkong, dengan proses yang tak jauh berbeda.
Seiring berjalannya waktu, tradisi berlebaran warisan leluhur kita mulai memudar. Perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat peradaban baru terhadap cara berpikir dan gaya hidup manusia. Dan kebijakan pemerintah dalam merespon pandemi yang sudah berjalan dua kali lebaran ini, membuat masyarakat terpaksa harus berlebaran ala protokol kesehatan dan serba di virtualkan.
Kebijakan ini sangat meresahkan warga. Larangan mudik, pembatasan melakukan sholat hari raya idul fitri dan bersilaturrahmi, sangat kontras dengan keramaian mall yang mayoritas acuh tak acuh mematuhi protokol kesehatan. Tak heran jika banyak netizen beramai-ramai mengujarkan kebenciannya di media sosial. Alhasil sikap ini justru menjadi bomerang bagi mereka. Kritik yang dianggap berlebihan menjadi sorotan media yang ditunggangi oleh buzzer-buzzer pemerintah.
Kondisi seperti ini membuat semua umat muslim terpaksa melakukan aktivitas berlebaran secara virtual. Silaturrahmi dan halal bi halal kepada keluarga yang jauh hanya sebatas pertemuan di layar handpone saja. Perasaan sedih dan haru tergambar di raut wajah mereka. Ketupat dan opor ayam yang biasa disantap setiap momen tahunan ini hanya menjadi bayang-bayang semu. Hanya THR virtual (transfer via bank) yang bisa dirasakan secara konkret.
Ketergantungan hidup manusia terhadap teknologi semakin menjadi-menjadi. Setelah melepas rindu secara virtual, masih banyak lagi ritual berlebaran ala generasi milenial yang sangat jauh dari nilai-nilai luhur. Kesempatan yang seharusnya digunakan untuk bertukar kisah, justru disia-siakan untuk bermain game online, memenuhi beranda media sosial, atau sibuk mencari berita viral.
Perkembangan zaman akan terus melahirkan kebiasaan baru. Begitu juga dalam berlebaran. Yang paling tampak berbeda hanya cara perayaannya saja, tak merubah esensi dari lebaran itu sendiri. Di tengah arus kehidupan yang semakin modern. Ketupat dan opor ayam masih menjadi benteng pertahanan tradisi warisan leluhur kita yang akan tetap lestari sepanjang lebaran masih dirayakan.
Penulis: A. Hirzan Anwari
Editor: Mst. R & Bilal
Layouter: Rohim
0 Komentar