Ticker

6/recent/ticker-posts

Revitalisasi Jati Diri Masjid

 

    Masjid merupakan raga kaum muslim, mengingat masjid merupakan pusat kegiatan dari kaum muslim itu sendiri yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan. Hal ini dapat kita saksikan minimal pada waktu sholat 5 waktu tiba. Sahut menyahut  suara adzan dari masjid ke masjid jelas terdengar, terutama bagi masyarakat muslim Indonesia yang notabene adalah negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Dengan fakta tersebut, tidak dapat dimungkiri bahawa pembangunan masjid di Indonesia kian menjamur.

    Dari data tahun 2018, setidaknya ada 800 Masjid baru yang tercatat di Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang di ketuai oleh Jusuf Kalla. Dan di tahun 2020, masih menurut beliau, Indonesia memiliki 800.000 masjid. Sungguh angka yang sangat fantastis!. Apakah kita bangga dengan pencapaian ini sebagai umat muslim? Bisa iya, juga bisa tidak. Barangkali kita patut bangga karena banyaknya masjid di Indonesia bisa dijadikan tolok ukur bagi tingkat religiusitas masyarakat. Apalagi penggalangan dana yang dilakukan cukup unik. Mulai dari penarikan dana dari rumah ke rumah dengan membawa proposal hingga membuat pos amal di jalan-jalan besar.

    Namun sebagai muslim juga, masak iya, sekedar membangun masjid saja? Nyatanya, jika menilik lebih jauh dengan mendatangi masjid-masjid, paling tidak yang tersebar di desa-desa atau kecamatan, masih sangat nelangsa. Ramainya suara adzan yang bersahutan memasuki waktu sholat fardhu tiba ternyata tidak diimbangi dengan banyaknya manusia-manusia yang meramaikan masjid itu sendiri. Alih-alih masjid menjadi penuh, namun ironinya dua shaf saja tidak sampai.

    Kita menemukan ramainya masjid hanya pada waktu dan event tertentu saja. Yang bisa dikelompokkan menjadi mingguan, Seperti saat sholat Jumat, dan tahunan seperti sholat Idhul Adha dan sholat Idul Fitri. Syukur-syukur jika dalam masjid tersebut memiliki rangkaian kegiatan rutinan yang bisa (lebih) meramaikan masjid seperti pengajian umum pada hari besar Islam atau sekedar tahlilan dan sholawatan yang diadakan setiap malam Jumat. Namun lagi-lagi ironis. pasalnya, yang hadir sebagian besar hanyalah generasi tuanya saja.

Ada yang hilang

    Melihat realita yang ada, sepertinya ada yang hilang dari masjid kita. Masjid terlihat hanya sekedar tempat formalitas untuk beribadah, bahkan sebatas simbol agama saja. Padahal, masjid adalah pusat ibadah dan pusat peradaban. Ketika flash back pada sejarah, kita tentu tahu bahwa dari 3 pilar pembangunan masyarakat di Madinah, hal pertama kali yang di lakukan Nabi Muhammad SAW ketika hijrah adalah membangun masjid. Setelah itu beliau menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan, peradaban dan keilmuan Islam. Lebih dari sekedar formalitas ibadah.

    Beliau memusatkan segala urusan negara dan agama di masjid. Sebagai pusat nongkrong muda-mudi yang terkenal dengan ahlus-shuffah seperti Abdullah bin Abbas dll. juga di masjid. Pelatihan-pelatihan silat pun juga di depan masjid. Dan jangan dilupakan, pada masa keemasan Islam dibawah daulah Abbasiyah dan Umayyah II yang juga menjadikan masjid sebagai pusat kajian keilmuan, halaqah hingga uji materi para cendekiawan Islam yang hendak menulis buku ataupun menemukan penemuan baru. Tak heran jika pada masa ini Islam menjadi pusat peradaban dan kebudayaan dunia selama lebih lima ratus tahun lamanya. Dari sini, mari kita bayangkan, betapa indahnya pemandangan tersebut. Sayangnya sekarang masjid sudah kehilangan jati dirinya. Menjamurnya masjid tak diimbangi dengan partisipasi masyarakat untuk meramaikannya. (Purnomo, 2016)

    Boleh lah, kita mengapresiasi para Ta’mir masjid, ROHIS, REMAS yang telah mengembangkan inovasi-inovasi cerdas dalam meramaikan dan memakmurkan masjid.  Seperti masjid al-Akbar Surabaya, Masjid Jogokriyan Jogjakarta, Masjid Jendral Sudirman dengan kajian-kajian filsafatnya, atau masjid-masjid sekolah maupun kampus yang sudah memiliki kegiatan dan program yang bagus. Namun masjid-masjid yang bertempat di desa? Masih jauh dari ekspektasi. Bahkan pengalaman pribadi, saya sering menemukan masjid dalam tiga keadaan: mukenah tidak terawat, kamar mandi kotor, dan malah ada yang hanya di buka setiap selesai sholat 5 waktu. Setelah itu masjid ditutup, digembok!.

    Saya membayangkan betapa menyenangkannya jika masjid-masjid tersebut, terutama di desa terpasang wifi, dilengkapi warung kopi dan perpustakaan lengkap dengan forum kajian dan diskusi kekinian lainnya. Atau dilengkapi dengan berbagai pelatihan life skill atau self-confident yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Pasti masyarakat, terutama muda-mudi desa lebih betah nongkrong di masjid daripada di warkop-warkop Atau di café. Intinya, jika perhatian masyarakat terhadap masjid meningkat, dan menjadikan masjid lebih dari sekedar tempat sholat, maka amar ma’ruf dan nahi munkar semakin mudah di laksanakan. Sekali-kali masjid janganlah di sakralkan. Dekatkanlah masjid di hati para pemuda. Rebut hatinya dan biarkan masjid melakukan tugasnya sebagai pusat peradaban.

    Sehingga harapan terbesar disini tertumpu pada kepengurusan masjid itu sendiri beserta masyarakat setempat. Percayalah, jika kita memiliki jwa yang visioner berjuang untuk masa depan bangsa dan agama, maka merubah paradigma masjid adalah objek yang paling vital. Apa tidak bosan dengan sindiran Muhammad Abduh, Al muslimu Mahjuubun bil Muslimin yang masih saja melekat pada diri kita?

    Di era pandemi ini, masjid kita pun ikut di uji. Terlebih di bulan ramadhan lalu, umat merindukan masjid. Tetapi tak berlebihan kiranya jika kita juga memaknai situasi ini sebagai sebuah istidraj dari Allah. Ketika keadaan normal-normal saja masjid hanya megah di luar, kosong di dalam. Sedangkan ketika terbit larangan untuk melakukan kegiatan di rumah termasuk juga di masjid, kita malah merindukannya.

    Bahkan beberapa tokoh Islam berceramah untuk tidak mematuhi pemerintah dan koar-koar untuk tetap meramaikan masjid di tengah wabah corona. Seakan dunia membuat kita becanda!. Terlepas dari itu semua, semoga ini adalah momentum bagi kita untuk merefresh kembali Paradigma kita kepada masjid. Jangan sampai dunia mengajak kita becanda kedua kalinya. Terserah pembaca, pandemi ini hendak dimaknai dengan apa. Namun harapannya adalah, semoga masjid kita tak lagi kehilangan raga dan jati dirinya. Dan di era kebiasaan baru ini, mari kita bangun kesadaran untuk tidak sekedar membangun masjid, lebih dari itu bisa memberdayakannya dengan baik. Karena saya percaya, masjid adalah ruh bagi masyarakat sekitarnya.*

Masjid itu dua macamnya

Satu ruh, lainnya badan

Satu di atas tanah berdiri

Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunya

Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu

Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu

Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

(Masjid, Puisi Emha Ainun Nadjib)

 







*) Wildana Rahmah Azzuhri

    Mahasiswa Unuja Prodi IQT

Posting Komentar

0 Komentar