Bau amis dari ikan-ikan yang di jemur para nelayan menebar di udara sekitar pantai. Di tambah bau busuk dari tumpukan sampah yang berserekan memenuhi pinggir pantai bersatu dengan aliran air hujan yang mulai turun perlahan. Suasana pantai sore itu terlihat tidak ramai seperti biasanya, para nelayan sudah mendarat dari laut mungkin karenakan cuaca yang nampak buruk membuat mereka mengurungkan niat untuk berlayar mencari sesuap nasi di tengah laut terlalu lama. Terlihat ibu-ibu yang sedang sibuk mengangkat ikan-ikan yang mereka jemur. Di sudut pantai tampak dua anak kecil yang sibuk mengais-ngais pasir dengan tangan-tangan mungil mereka menggunakan ranting kecil mencari kerang. Sambil lalu menunggu para nelayan pulang dari melaut karna mereka hidup dengan membantu membawa ikan-ikan nelayan dengan di upah ikan yang mereka kumpulkan untuk di jual ke tengkulak.
“Kak sudah selesai? aku… lapar” celetuk sang adek dengan suara sedikit berdesah. Dengan sesekali memegangi perutnya.
“Tunggu sebentarnyahh dik kakak masihh belom dapat kerangnya, para nelayan pun hari ini sepi mungkin kita tak dapat sebanyak hari-hari biasanya…” Jawab sang kakak dengan nada sedikit berat.
Agung dan dava adalah nama dari kakak beradik mereka merupankan salah satu potret dari beratus-ratus ribu bahkan miliaran orang yang di penjara oleh kemiskinan. Terlahir dengan kisah yang sangat pahit di usia mereka yang masih sangat belia mereka sudah tidak lagi mempunyai oarang tua di usia mereka yang sepatutnya mengenyam bangku sekolah dan bersenang-senang dengan temen-teman sebayanya malah harus merasakan getir kehidupan. Mereka adalah salah satu korban dari tikus-tikus berdasi yang tanpa hati dengan gagah dan kebiadapannya merampas hak rakyat menari-nari di atas penderitaan rakat kecil. Mereka hidup di bawah kolom jembatan yang mereka hias degan kardus-kardus bekas .
Malam telah tiba agung dan dafa menimbngkan hasil ikan mereka pada tengkulak. Mereka berdua menerka-nerka makannan apa yang hendak di beli mereka. Meskipun mereka tau hasil ikan hari ini jauh lebih rendah dari harri-hari kemaren mereka tetap berharap hari ini mendapatkan uang yang banyak.
Dengan perlahan mereka berjalan menuju tempat tengkulak . Pakaian yang sudahh tak lagi layak di pakai, tubuh yang sudah sangat dekil sambil menjingjing kantong plastik yang berisi ikan yang hendak mereka jual.
“Kak kapan sampainya aku sudahh sangat lapar…” rengek sang adek yang terus memegangi perutnya di sepanjang perjalanan. Kali ini rasa lapar mengalahkan ke sabarannya.
Air matanya mulai bercucuran menggambaran rasa perih yang amat sangat kejam mencengkam kehidupan mereka.
“Sebentar lagi dik kita hampir sampai tar kakak janji beliin adik makanan sebanyak-banyakannya adik yang sabar yah” jawab sang kakak sambil merangkul tubuh mungil adiknya untuk menenangkan nya meskipun ia tau betapa sakitnya menahan rasa lapar yang terus. Tak terasa air matanya pun mulai berjatuhan. Langkah kaki mereka mulai di percepat sebuah tempat agak besar tempat penjualan ikan sudah berada di hadapan mereka.
Rumah itu milik tengkulak . Di sinilah mereka menjual hasil ikan mereka.
“Wah sedikit sekali ikan kalian.uang untuk hari ini hanya segini ya..”ucap sang tengkulak sambil menyodorkan 3 lembar lima ribuan.
“Terimakasih pak” ucap mereka sambil meninggalkan tempat itu. Mata dafa berbinar seketika, ketika melewati watek yang berisi berbagai macam masakan yang tentunya sangat memikat seleranya yang sudah kelaparan seharian. Agung menggapit tangan adik nya untuk membeli makan setelah mereka masuk kedalam wartek tersebut, Seorang ibu pemilik wartek mengusir mereka
“Heh!!! Ngapain kalian di sini,? Sana keluar di sini tidak melayani peminta-minta pergi kalian!!! Hardik ibu-ibu pemilik wartek tersebut. Dengan perlahan mereka mundur tanpa sepotong katapun yang keluar dari mulut mungil mereka, nyalinya pun langsung ciut seketika.
‘Lain klai aja yah dek kakak janji akan bawa adik ke depot yang jauh lebih gagah dari depot ini” Dafa hanya membalas dengan anggukan lemas.
Di pinggir jalan mereka asik menkmati sebungkus nasi lengkap dengan lauk lode dan ikan asin. Mereka larut dalam canda gurau mencoba tetep tertawa meskipun keadaan menerkam dengan sangat buas.
***
Ke esokannya setelah bangun dari tidurnya sang kakak merasakan pening dan sekujur tubuhnya sulit untuk di gerakan.
“Dek… bangun… kakak pusing” ucap sang kakak dengan suara lirih yang hampir tak terdengar sambil mengayun-ngayunkan tubuh sang adek perlahan. Perlahan mata sang adek mulai terbuka betapa kaget sang adek melihat sang kakak pucat pasi tangan mungilnya meraih badan sang kakak yang sekujur badannya terasa sangat panas. Bibirnya pun bergetar menahan tangis.
“Kak, kakak kenapa… kakak sakit” samabil merangkul badan sang kakak
“kakak gak papa dik cuman pusing sedikit saja adik tidak usah mulung hari ini di dalam ember itu ada celengan peninggalan orang tua kita adik buka buar beli makan yahh ” sembari mengelus sang adek. Adeknya ahanya bisa menemani di sampingnya dengan sambil memngompres sang kakak dengan kain basah suhu tubuh sang kakak belom juga reda. Melihat sang kakak sudah tertidur pulas dafa beranjal pergi menuju tempat celengan.
“Braaaaaaaaaaak!!!” sang adek membanting celengan tersebut dia berharap bisa membeli obat sang kaka. Perlahan dia pergi menuju apotek terdekat untuk membeli obat sang kakak. Sesampainya di rumah sang adek tersetak melihat kakak nya yang basah kuyup dengan gelas yang bergeletak di sampingnya.
“Kak maaf adek baru pulang beli obat!” sambil mengguling-gulingkan badan sang kak perlahan dan betapa kagetnya ternyata kakaknya sudahh berhenti bernafas.
“Kak …. Kakak ayokk bangun ini adek bawakan obat sama makanan yang kakak janjikan dulu ayok banagun kak kita makan sama-sama adek tidak habis kalok makan sendiri kakak!!! Dengan suara yang sangat parau akibat teriakan dan air mata yang bersatu sang adek terus menerus membangunkan kakaknya.
“Kak ayok bangun jangan tidur lama-lama adek takut di sini sendiri adek takut lkesepian kakak kak tak pengen tahh makanannya enak ini, sudah adek belikan” ucap Dafa dengan suara yang sangat lemah. Terdengar isak tangis yang sangat tumpah.
Inilah kami wabah yang tak terlirik
0 Komentar