Ticker

6/recent/ticker-posts

PUISI-PUISI M. IMAM AL-FAQIH


SETELAH ITU

Jika fisikmu sudah habis menjadi tanah, dalam bentuk apa kita akan dipertemukan?

Agama berkata bahwa bentukmu selanjutnya adalah ruh. Mungkin seperti angin.

Dikatakan bahwa kamu bisa melihatku sedangkan aku jelas tidak bisa.

Sains kemudian menimpali bahwa energi tidak pernah hilang, ia hanya berubah bentuk.

Jadi, apakah dapat dipastikan energimu masih ada di dunia ini?

Mungkin saja kita kembali bertemu setelah menjadi seperti angin.

Kita bisa pergi bersama kemanapun kita mau.

Akan ku ajak kamu terbang ke tempat-tempat yang belum sempat kita kunjungi ketika masih memiliki fisik.

Tunggu... Pikiranku diracuni cerita fantasi. Aku bingung, setelah fisik ini tiada. Apa bentukmu selanjutnya?

Aku ingat sains juga pernah berkata bahwa kematian adalah pemberhentian terakhir.

Apakah artinya kamu akan musnah?

Bagaimana dengan energimu yang dulu bisa membuatmu tersenyum itu?

Aku benar-benar bingung.

Aku hanya bisa bertanya tanpa seorangpun mampu menjawabnya.

Tidak ada yang tau pasti.

Tapi aku pernah mendengar sesuatu.

Konon, energi dalam otak yang selalu menanyakan tentang "siapakah aku?" Akan tetap hidup.

Mungkin energi itu yang akan menjadi dirimu selanjutnya.

Tapi apakah setelah itu kamu masih mengenalku?

Apakah dengan demikian, gelak tawa itu bisa menyibukkan telingaku lagi?

Seperti dulu, ketika kamu masih memiliki fisik.

Adalah sederet pertanyaan mengerikan yang muncul setelah kepergianmu.

Agama terus meyakinkanku bahwa kamu akan bahagia.

Menemui keluargamu yang telah mendahuluimu.

Dan berkumpul di sana. Entah di mana.

Gambarannya seperti engkau memiliki fisik kembali.

Tersenyum bersama dapat berbahasa dan tertawa.

Hujan 23:07

TENTANG ZA

Za, kemuning senja sore ini mengingatkan aku pada gelak tawamu

Ketika kau berlari-lari di belakangku menelusuri garis pantai

Aku yang berfokus pada senja yang hendak usai, sejatinya sedang memperhatikanmu Kau tak pernah hilang dari tatapanku

Sejak kusadari bahwa kepergianmu sudah setahun lalu

Mataku tiba-tiba basah

Aku terlalu takut untuk jujur

Egoku beranggapan bahwa ini karena aku terlalu lama membuka mata

Tapi hati ini tidak dapat dikelabui

Ia terus-menerus menyebut namamu berulang tak berhenti

Seakan namamu sudah menjadi nafas bagi tubuh ini

Ketika senja sudah pergi, kegelapan sama sekali tak merenggutmu dari tatapanku

Ia lebih suka menceritakan kenangan kita dua tahun lalu

Ketika kita duduk di bangku sudut kota Memperhatikan gemerlap lampu dan lalu lalang orang-orang dari kejauhan

Kala itu dirimu berkata bahwa akan hidup lebih lama untuk melihat senyumku

Aku tersenyum lebar, tak sedikitpun terbesit perpisahan hadir dalam cerita kita

Dalam kegelapan yang menyelimuti arah pulangku selepas senja

Sesuatu menyambar dari dalam dada

Rasa sesak itu memenuhi tubuhku hingga aku bergetar dan terjatuh

Tanpa sadar mulutku memanggil-manggil namamu

Aku tak pernah sepakat untuk kehilanganmu secepat ini

Aku benar-benar merasa sangat sendiri Za

Kuharap Tuhan menyampaikan tangisku padamu, agar kau tau aku tak berubah

Aku habiskan waktuku untuk memberitahu semesta,

Bahwa aku masih mengingatmu

Sebelum ini terjadi padaku, aku tak percaya Laila dan Majnun itu nyata

Bahwa Romeo dan Juliet itu ada

Aku sama sekali menolak keaslian naskah tentang mereka

Detik ketika aku menerima kabar kematianmu

Aku sadar bahwa kehidupan sedang memberiku penjelasan tentang itu

Senja 07:30

MENUNTUT SESAL

Adakah jawabnya kasih yang luhur itu

Hanya berbalas ingkar yang dibongkar zaman

lapuk dan hilang tak berbekas aman

Waktu telah merenggutnya menjadi berarak sampah

Yang mengapung di tepi pantai

Ikan, dugong dan burung dibunuh lalai

Lalu menjelma sepecut api yang membakar hutan

Menghabiskan rumah celeng, kijang dan bekantan

Bumi telah salah merawat makhluk berambisi setan

Dunia berbicara kepada kita

Tentang keluh-kesah beranak manusia

Ketika alam menjadi murka

Tampak banyak manusia berduka

Menjilat jejak tingkah buruk kelakunnya

Memelas meminta ampunan semesta

Konsumerisme, deforestasi, exploitasi, polusi

Adalah sederet keserakahan yang mengakar di otak modernisasi

Tak pernah terdengar kata cukup dari toa peradaban ini

Atas nama kebaikan dan kemakmuran

Gedung-gedung jangkung perkantoran didirikan

Tanah bersemak rumah belalang ditancap beton

Sungai dikeruk menampung limbah plastik berton-ton

Tiada angan membalas asuh yang sejak lama tertuai tumbuh

Untuk sekedar menaja asih pada bumi yang telah ringkih

Kelam 18:18

HYPATIA

Hypatia...

Adiratna indah milik Alexandria

Ia dikaruniai berlian dalam kepalanya

Seluruh keindahan ada padanya

Dimanapun ia berdiri disitulah orang-orang berada

Ia sebening mata air yang dengannya para musyafir mengusir dahaga

Hypatia...

Dengan darahmu aku tau

Bahwa orang buta tidak hanya mereka yang tidak melihat

Dengan kegelisahanmu aku tau, Hypatia

Ketika kau menggaris-garis pasir untuk berbicara rasi bintang

Ketika kau diseret-seret segerombol orang

Aku tau Hypatia...

Aku tau bahwa manusia baik tidak pernah berumur panjang

Hypatia...

Dipenganuhi Plotinus di satu sisi kau cukup beruntung

Aku melihat mereka mengemis kepadamu

Dari kalangan mereka yang kerap diminta, kini meminta, Hypathia

Itu sebabnya kusebut kau beruntung

Tapi Hypatia...

Mendengar kabar itu orang-orang terbakar

Mereka merangas menebar gigi tajamnya

Aku tidak mengerti

Hypatia...

Di musim panas itu, di balik puing-puing yang rapuh

Petrus datang di atas nama Sirilius

Ia disokong tangan-tangan yang salah memahami kitab suci

Mereka merenggut hak Hypatia melihat bintang untuk selama-lamanya.

IA KECEWA

Izinkan aku berbicara melalui mulut orang yang kecewa

Supaya kelak aku lebih adil mengahadapi kenyataan

Aku kadang lupa bahwa untuk meyakinkannya kesekian kali, adalah suatu kesukaran

Aku tergesa-gesa menelantarkan kata di layar perpesanan kita

Maaf jika selama ini aku tidak mengerti bahwa kau titipkan hati untuk ku isi

Aku paham bahwa maafku takkan pernah sampai

Bagaimana mungkin ia tersampaikan Sedangkan tempat maafnya terpenuhi rasa kecewa

Aku memberanikan diri bercerita tentang penyesalan

Meskipun belum tentu ada yang sudi mendengarnya

Aku telah membuatmu putus asa ketika bersandar di pundakku

Ku takut ada pundak lain yang bersedia hadir untukmu

Lalu-lalang bayangan kisahmu berpamitan bersama senja

Kuharap esok fajar menghibur hatimu yang terlajur kecewa.




Penulis: M. IMAM AL-FAQIH lahir di Probolinggo

Contact : muhammadimam014@gmail.com

Editor: Mustain Romli

Design/Layouter: Rohim

Posting Komentar

0 Komentar