Matahari di ufuk timur yang nampak sangat sangar panasnya mencenggkram tubuh kami dengan cakar dan paruh yang mungil. Kami siap mengepakkan sayap menuju arah asal matahari terbit. Di sela keberangkatan terdengar perdebatan dari induk kami.
“Bagaimana kalau anak-anak kita tidak diikutkan saja,”ujar Ibu kami sedikit memelas.
“Kamu tau kita akan berlayar ke mana kali ini, perjalan kita hari ini tidak seperti perjalanan kita di hari-hari sebelumnya. Bahkan bisa jadi kita akan menetap di sana nantinya,”jabab tegas dari bapak kami dengan wajah yang nampak agak pasrah memandang sayu ke arah ku dan kedua saudara ku yang sedang asik mencakar-cakar sarang.
Aku paham yang ibu kami takutkan itu karena kami masih baru belajar terbang dan belum pernah menenmpuh perjalanan jauh . Itulah yang menjadi sumber kerisauan induk kami. Akhirnya kami pun ikut dengan burung- burung yang lain untuk menggembara mencari makan. Saat ini merupakan hari-hari akhir musim hujan yang artinya padi-padi para petani di arah timur sudah mulai menguning .
Diperjalanan kami merasa sangat senang sorak-sorai kebahagian itu terdengar merdu dari rombongan kami. Dengan saling bercanda bersama rombongan burung-burung lainnya. Meskipun agak letih mengayun-ayunkan sayap akibat perjalanan yang sangat jauh, dan kadang kala aku dan saudara-saudara ku tertinggal dengan rombongan yang lain. Dengan sabar induk kami menunggu. Tak terasa kita sudah sampai tepat di bawah kita terbentang luas padi yang mulai menguning. Binar-binar kebahagianan dari kita terpancar sangat jelas karena lelah kita akhirnya telah terbayar setimpal.
“Ayok langsung serbu teman-teman,”ucap salah satau burung di rombongan kami yang langsung menurunkan tubuhnya di pematangan sawah pertama.
“Jangan terlalu terburu- buru, ingat hati-hati, karena petani banyak menggunakan jebakan-jebakan untuk menangkap kita,”ujar salah satu burung dari rombongan kita yang mungkin tak lagi terdengar oleh temennya tersebut.
Namun tanpa pikir panjang kita pun menyusul untuk menyerbu padi tersebut. Dengan semangat yang sangat tinggi kita memakan padi satu persatu sedang aku dan saudara-saudaraku menunggu induk kami yang menyuapi makan dengan sesekali kita juga belajar mengambilnya sendiri.
***
Grabakkkkk!!!! Sebuah benda yang tiba-tiba menimpa tubuh kami. Seketika itu pula tubuh kami sangat sulit untuk diderakan suasana berubah hitam pekat dengan nafas yang kembang kempis karena ketakutan.
“Celaka! Kita tertangkap,”ujar indukku dengan wajah yang pucat pasi sambil merangkul erat tubuh kami.
Kerisauan yang sama dirasakan semua rombongan ada yang menjerit ketakukan dan ada pula yang menagis memohon kebebasan, yang tidak akan pernah di mengerti oleh manusia. Terasa kita hendak dipindahkan ke suatu tempat, entah hendak dibawa kemana oleh mereka lambayan tangan mereka terasa saat membawa kita . Pada akhirnya kita di tempatkan di sebuah benda yang terdapat cela-cela udara hampir di semua sisi. Dan temapat itu juga sangat sempit sehingga membuat kita tidak bisa bergerak dengan bebas.
“Wah burung yang indah baik-baik kalian di sini kami tak akan menyakiti kalian,” seru nya sambil menyodorkan kita makan.
Kami menjerit sambil merloncat-loncat mengemis untuk dibebaskan, tak dihiraukan oleh sosok tersebut hanya dibalas dengan senyuman. Kami sangat takut sehingga kehilangan selera makan, wajah-wajah kita tampak lesu berharap akan adanya keajaiban.
Srekk, srekk! Terdengar langkah mendekati kami, sebuah tangan-tangan mungil memegangi tubuh kami dengat wajah yang tampak sangat bahagia
“Ayah aku suka burungnya,”sambil menyongkel-nyokelkan tangannya disela lubang yang terdapat di tempat kami.
“Kita akan memliharanya nak,”ucap sang ayah sambil menggendong anaknya.
Kita berteriak lebih kencang dan meloncat memleas ke pada itu berharap dia mengerti bahasa kita, yang meminta kebebasan .
“Ayah burungnya pengen main,”ucap anaknya.
“Dia lapar bukan pengen main nak burung mana ada yang main,” balas sang ayah.
“Tapi dia loncat-loncat, dia penegen main ayah ayok lepasin burungnnya biar bisa main seperti aku. Aku mau menerbangankan burung- burnganya ayah, aku sudah tidak mau lagi punya burung, aku kasihan melihat mereka disekap pasti rasa tidak akan enak,”rengek anak itu.
Mendengar percakapan mereka, hati kami tambah berdebar berharap kesangggupan dari sang ayah. Selang beberapa waktu yang cukup lama. Akhirnya dia pun menganggukkan kepalanya pertanda ia menyutujui kemauan sang anak. Akhirnya satu persatu dari kami di lepaskan ke angkasa dengan raut wajah yang sama- sama dalam keadaan bergembira.
“Pergilah bermain wahai burung-burung yang cantik maafkan kami telah menyiksa kalian,”ucap mereka.
Yang kami balas dengan kepakan sayap dan kicauan indah tanda pengucapan terima kasih
karena telah membebaskan kami kembali terbang ke angkasa. (*)
Allah menciptakan para mahluk dengan Rohman dan Rohim maka hendaknya kita sesama ciptaannya seharusnya tidak enggan untuk saling berbagi karena harta hanyalah titipan semata.
gh
*) AYU ANDILA
KADER AKTIF HMI KOMISARIAT ABU NAWAS
0 Komentar