Ticker

6/recent/ticker-posts

Kami Juga Butuh Hidup Bebas

 

Matahari di ufuk timur  yang  nampak sangat  sangar  panasnya mencenggkram tubuh kami dengan  cakar  dan paruh  yang mungil. Kami  siap mengepakkan  sayap menuju arah asal  matahari terbit. Di sela keberangkatan terdengar perdebatan dari induk kami.

 “Bagaimana kalau anak-anak kita  tidak diikutkan saja,”ujar Ibu kami sedikit memelas.

  “Kamu tau kita akan berlayar ke mana kali ini, perjalan kita hari ini  tidak seperti perjalanan  kita di hari-hari sebelumnya. Bahkan bisa jadi kita akan menetap di  sana nantinya,”jabab tegas dari bapak kami dengan wajah yang  nampak agak pasrah memandang  sayu ke arah  ku dan kedua saudara ku yang sedang  asik mencakar-cakar  sarang.

  Aku paham yang ibu kami takutkan itu  karena kami masih baru belajar terbang dan belum pernah   menenmpuh perjalanan  jauh . Itulah yang menjadi sumber kerisauan induk kami. Akhirnya  kami pun ikut dengan burung- burung yang lain untuk menggembara mencari makan. Saat ini   merupakan hari-hari  akhir  musim hujan   yang  artinya padi-padi para petani  di arah timur sudah mulai menguning  .

Diperjalanan kami  merasa sangat senang  sorak-sorai kebahagian itu terdengar merdu dari rombongan kami. Dengan  saling bercanda bersama rombongan burung-burung  lainnya. Meskipun agak  letih  mengayun-ayunkan sayap akibat perjalanan yang sangat  jauh, dan kadang kala aku dan saudara-saudara ku tertinggal dengan rombongan yang lain. Dengan sabar induk kami menunggu. Tak terasa kita sudah  sampai tepat di bawah kita terbentang  luas padi yang mulai menguning.  Binar-binar kebahagianan dari kita  terpancar sangat jelas karena lelah kita akhirnya telah terbayar  setimpal.

“Ayok langsung serbu teman-teman,”ucap salah satau burung di rombongan kami yang  langsung menurunkan tubuhnya di pematangan sawah pertama.

“Jangan terlalu terburu- buru, ingat hati-hati, karena petani banyak menggunakan jebakan-jebakan untuk menangkap kita,”ujar salah satu burung dari rombongan kita  yang  mungkin tak lagi terdengar oleh temennya tersebut.

Namun tanpa pikir panjang kita pun menyusul untuk menyerbu  padi tersebut. Dengan  semangat  yang sangat  tinggi kita memakan padi satu persatu sedang aku dan saudara-saudaraku menunggu induk kami yang menyuapi  makan dengan sesekali kita juga belajar mengambilnya sendiri.

***

Grabakkkkk!!!! Sebuah benda  yang tiba-tiba menimpa  tubuh kami. Seketika  itu pula tubuh kami sangat sulit untuk diderakan suasana berubah hitam pekat dengan nafas yang kembang kempis karena ketakutan.

“Celaka! Kita tertangkap,”ujar  indukku dengan wajah  yang pucat pasi sambil merangkul erat tubuh kami.

Kerisauan yang sama dirasakan semua rombongan ada yang menjerit ketakukan dan ada pula yang menagis memohon kebebasan, yang  tidak akan pernah di mengerti oleh  manusia.  Terasa kita hendak dipindahkan ke suatu tempat, entah hendak dibawa kemana oleh mereka  lambayan tangan mereka terasa saat membawa kita . Pada akhirnya kita di tempatkan di sebuah benda yang  terdapat cela-cela udara hampir di semua sisi.  Dan temapat itu juga sangat sempit  sehingga membuat kita  tidak bisa bergerak dengan bebas. 

“Wah burung yang indah baik-baik kalian di sini kami tak akan menyakiti kalian,” seru nya sambil menyodorkan kita makan.

 Kami menjerit  sambil merloncat-loncat mengemis untuk dibebaskan, tak dihiraukan oleh sosok tersebut hanya dibalas dengan senyuman.  Kami sangat takut  sehingga kehilangan selera makan, wajah-wajah kita tampak lesu berharap akan adanya keajaiban.

Srekk, srekk!  Terdengar langkah mendekati kami, sebuah tangan-tangan mungil  memegangi tubuh kami dengat wajah yang tampak sangat bahagia

  “Ayah aku suka  burungnya,”sambil menyongkel-nyokelkan tangannya disela lubang yang terdapat di tempat kami.

“Kita akan memliharanya nak,”ucap sang ayah sambil menggendong  anaknya.

Kita berteriak lebih kencang dan meloncat  memleas ke pada itu berharap dia mengerti bahasa kita,  yang meminta kebebasan .

“Ayah burungnya pengen main,”ucap anaknya.

“Dia lapar bukan pengen main nak burung  mana ada yang main,” balas sang ayah.

“Tapi dia loncat-loncat, dia penegen main ayah ayok lepasin burungnnya biar bisa main seperti aku. Aku mau menerbangankan burung- burnganya ayah, aku sudah tidak mau lagi punya burung, aku kasihan melihat mereka disekap pasti rasa tidak akan enak,”rengek anak itu.

Mendengar percakapan mereka, hati kami tambah  berdebar berharap kesangggupan dari sang ayah. Selang beberapa waktu yang cukup lama. Akhirnya dia pun  menganggukkan kepalanya pertanda  ia  menyutujui kemauan sang anak.  Akhirnya satu persatu dari kami di lepaskan ke angkasa dengan  raut wajah yang  sama- sama dalam keadaan bergembira.

“Pergilah bermain wahai burung-burung yang cantik maafkan kami telah menyiksa  kalian,”ucap mereka.

Yang kami balas dengan kepakan sayap dan  kicauan indah tanda pengucapan terima kasih karena telah membebaskan kami kembali terbang ke angkasa. (*)

 

 

    Allah menciptakan  para  mahluk dengan  Rohman dan Rohim maka hendaknya kita sesama ciptaannya  seharusnya  tidak enggan untuk saling berbagi  karena harta hanyalah titipan semata.

gh

     

        *) AYU ANDILA  

        KADER AKTIF HMI KOMISARIAT ABU NAWAS


Posting Komentar

0 Komentar