Setiap manusia yang terlahir ke dunia dikaruniai akal budi. Dengannya seseorang akan dominan pada objektifitas suatu kasus baik tumbuh murni dari analisa mandiri atau dipengaruhi oleh orang lain. Sejarah membuktikan banyak pemikiran yang tumbuh dan berkembang. Bahkan wujud dalam rupa membawa generasi penerus untuk memahami, meneliti, menginovasi bahkan mengkritik karya para senior mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pondasi yang kokoh dalam berpikir sehingga kerangka analisis yang terbentuk tidak runtuh tergoncang hantaman zaman. Seorang filsuf berkebangsaan Perancis pernah berkata "cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada". Jauh-jauh hari, hal ini telah menjadi perbincangan di antara para akademisi baik barat maupun timur. Banyak dari mereka yang fokus untuk mengkaji dan mengkritisi esensi dari segala hal, sehingga muncullah ilmu yang disebut filsafat dari bahasa Yunani philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Tercatat ilmu ini muncul dan berkembang sekitar abad ke-7 sebelum masehi di Yunani. Berawal dari diskusi tentang keadaan baik fenomena alam, individu masyarakat dan kultur budaya. Sebagai wujud keprihatin para filsuf pada zaman itu akan lekatnya bangsa Yunani dengan mitologi, mengaitkan setiap peristiwa dengan takhayyul tanpa menyertakan pendekatan rasional dan logika sebagai alat berpikir yang benar dan diatur secara sistemik. Salah satu filsuf Yunani yang memiliki pengaruh besar ialah Aristoteles.
Pembahasan logika Arsitoteles tertuang didalam buku yang berjudul Organon yang berarti alat. Yakni alat untuk berpikir lurus yang dibatasi oleh seperangkat kaidah yang baku. Organon merupakan kumpulan karangan yang meliputi enam pembahasan :
Pertama, pembahasan tentang kategori-kategori (on the categories) yang menjelaskan sepuluh macam kategori : substansi (substance), kuantitas (quantity), kualitas (quality), relasi (relation), aksi (action), passi, tempat, keadaan, lingkungan dan waktu.
Kedua, pembahasan tentang interpretasi (on interpretation) yang mengkaji tentang simbol dari pikiran yang mewujud dalam kata-kata, membicarakan pernyataan-pernyataan yang benar dan salah, mengulas ragam definisi, seperti definisi kata benda, kata kerja dan kalimat, menguraikan diagram afirmasi dan penyangkalan, preposisi sederhana dan preposisi kompleks.
Ketiga, prior analytics yang membahas tentang struktur silogisme, tata cara menggunakannya, mengenai induksi, pengajuan argumen-argumen, serta analisis pernyataan argumen. The Liang Gie menyebutnya “analitika yang lebih dulu”.
Keempat, posterior analytics yang membahas ciri-ciri pengatahuan ilmiah, syarat-syarat yang dibutuhkan dalam mendemonstrasikan argumen, makna kontradiksi, preposisi, asas-asas kebenaran, pengertian tesis, aksioma, hipotesis, berbagai definisi, jenis pengetahuan demonstratif dan metode-metode serta tujuan-tujuan sains. Gie menyebutnya dengan “analitika yang kemudian”.
Kelima, topik (the topics) yang mengupas dialektika, perbincangan mengenai premis-premis yang boleh jadi benar, membahas kembali perbedaan predikat, seperti tentang esensi, kualitas dan kuantitas.
Keenam, kebohongan (sophistic elenchi) yang merupakan lanjutan dari pembahasan dalam topik yang dilengkapi dengan daftar kekeliruan-kekeliruan dan beberapa aturan yang mereka abaikan. Suatu kritik yang dialamatkan kepada argumentasi Shopis. Di dalamnya diuraikan cara kerja analogi. Melalui analogi, seseorang dapat membahas suatu pernyataan untuk dapat menerima, menolak atau menetapkan kebenaran dan mendapatkan hasil yang akurat. Pembahasan selanjutnya adalah mengenai metode pembuktian (burhan) untuk mendapatkan pernyataan yang lebih valid. Kesimpulan yang dihasilkan melalui metode pembuktian lebih kuat dan meyakinkan daripada kebenaran yang didapat melalui debat melawan kaum Sophis. Melalui metode demonstrasi, Aristoteles menunjukan sejumlah kekeliruan yang dilakukan dikalangan Sophis. Aristoteles membahas kekeliruan-kekeliruan dan mengungkapkan sejumlah kerancuan logis yang diperbuat oleh kaum Shopis. Baik kerancuan bahasa maupun kerancuan unsur-unsur preposisi.
Logika Aristoteles sangat berpengaruh terhadap cendekiawan muslim, teolog dan filsuf. Oleh karenanya, sangat wajar jika semua istilah logika Arsitoteles muncul dalam bentuk terjemahan bahasa Arab. Isagoge dari Porphyry diterjemahkan dengan Isaghuji, categoria dengan maqulat, interpretation dengan ibarah, prior analytics dengan qiyas, posterior analytics dengan mughalithat, rhetori dengan khithabah, poetic dengan syi’ir, definition dengan ta’rif dan prepositions dengan qadhiyat. Banyak para akademisi muslim yang menggeluti alur pemikiran Aristoteles ini. Salah satunya adalah Imam Ghozali dengan salah satu karya nya yang berjudul Mi’yar Al-Ilmi (Neraca Ilmu). Meskipun beliau adalah sosok ulama yang cukup concern dalam ilmu filsafat tak jarang beliau melontarkan ketidak setujuannya akan kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi melalui karya beliau. Tahafut Al-Falasifah adalah buah karya beliau yang memuat ketidaksetujuannya akan dalil-dalil filsafat Ibnu sina dan alfarabi mengenai:
Pertama, pendapat bahwa alam semesta senantiasa ada dan tanpa permulaan.
Kedua, pendapat bahwa Tuhan hanya mengetahui perkara-perkara mujmal (umum) dan bukan hal-hal parsial atau khusus.
Ketiga, pendapat bahwa hanya ruh (dan bukan jasad) yang akan dibangkitkan dihari akhir.
Melalui karyanya, Imam Ghozali hendak mengkoreksi dan mengkritisi segala hal yang menurutnya kurang mendapatkan porsi yang pas dalam penyajiannya. Berawal dari perbedaan sudut pandang, hal ini dirasa perlu mengingat untuk mendapat porsi terbaik perumusan masalah, dibutuhkan keterbukaan nalar dalam menelusuri ruang pembahasan, selagi tidak mengesampingkan kebijaksanaan itu sendiri. Sebab perbedaan dan perpecahan adalah hal yang lumrah terjadi. Mengingat sudut pandang yang bervariasi ada yang mandiri atau ditunggangi. Dari sini dapat dipahami, esensi berfilsafat bukanlah tentang melemahkan lawan tapi untuk menemukan titik temu dari beraneka ragam benih pemikiran yang tumbuh subur. Selaras dengan semangat kebijaksanaan yang menjadi artian etimologi filsafat sendiri, melalui tahapan dan metode berfilsafat yang ideal dengan memaksimalkan kinerja bernalar dan mengesampingkan keangkuhan ego, akan didapat buah pemikiran yang steril dari kecatatan.
Penulis: Kanda Bilal
Editor: Mustain Romli
0 Komentar