Ledakan bom yang terjadi di Gereja Katedral Makassar membuat seluruh masyarakat Indonesia berduka. Mulai dari elemen pemerintahan yang tidak mentolerir, hingga pemuka dari berbagai agama yang ada di Indonesia turut ikut andil mengecam kejadian tersebut. Bukan hanya mengundang keprihatinan masyarakat, justru juga bisa dikatakan dapat mengganggu keberadaan “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi pegangan teguh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kejadian ledakan bom di Gereja Katedral. Hendak mengindikasikan bahwa kedamaian di tengah masyarakat yang majemuk ini masih perlu dipertanyakan atau diperhatikan kembali. Bagaimana tidak, ledakan bom atau aksi pemboman tidak hanya terjadi sekali dua kali. Sehingga keresahan pun kembali menyita perhatian masyarakat. Dari berbagai insiden pemboman yang terjadi, dapat dipastikan mayoritas yang menjadi sasarannya ialah kerumunan dan tempat-tempat beribadah.
Sementara itu, pengertian dari radikalisme dan terorisme dalam salah satu opini yang termuat di beritabaru.co "Melacak Akar Sejarah Radikalisme dalam Islam", bahwa radikalisme yang disebut Alquran adalah sebagai sikap dan perilaku yang melampaui batas. Ada tiga sikap yang dikategorikan melampaui batas. Pertama, ghuluw, bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Kedua, tatharruf, adalah sebuah sikap berlebihan yang disebabkan oleh emosional yang menimbulkan sikap berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Ketiga, irhab, sikap dan tindakan berlebihan, karena dorongan agama atau ideologi. Ini yang mengundang kekhawatiran karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama.
Sedangkan terorisme menurut KBBI adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan atau usaha mencapai tujuan tertentu dengan cara kekerasan. Ada juga yang mengatakan bahwa terorisme adalah bentuk aksi atau wujud konkret dari adanya paham radikalisme. Bisa dikatakan bahwa radikalisme adalah tahapan menuju terorisme. Sehingga, terorisme sudah pasti radikal. Namun radikal tidak semuanya akan berakhir pada terorisme.
Kemudian apakah keberadaan radikalisme dan terorisme mengancam kesejahteraan dari berbagai kehidupan agama-agama yang ada di Indonesia? Tentu, sebab pada akhirnya yang muncul adalah persoalan agama yang dianut oleh si pembom tersebut. Akan banyak argumentasi yang muncul dengan dibenturkan pada agama-agama tertentu. Lalu yang terjadi adalah saling menyudutkan satu sama lain, lagi-lagi agama akan menjadi korban perseteruan, bahkan bisa dikatakan agama merupakan sumbu persoalan pada saat itu juga. Padahal ketika ditelusuri lebih dalam, agama sama sekali tidak ada sangkut pautnya terhadap kejadian pemboman atau aksi terorisme. Agama manapun pasti menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Tidak ada agama yang membenarkan aksi teror dan agama juga menentang radikalisme.
Sekalipun yang menjadi tameng mereka dalam melakukan aksi terorisme adalah mengatasnamakan agama yang dibalut dengan jihad. Pada sejatinya, mereka (pelaku radikalisme dan aksi teror) hanyalah untuk memuluskan rencana sendiri atau sekelompok tertentu yang memiliki misi khusus. Walhasil biasnya berdampak pada agama, dan lagi-lagi agama menjadi perhatian serius yang menyebabkan gejolak dari berbagai masyarakat. Pro-kontra pun terjadi, sampai-sampai perdebatan sana-sini tak bisa dibendung. Padahal kewajiban sebagai rakyat Indonesia adalah tetap merawat persatuan dan kesatuan serta menolak upaya perpecahan dalam bentuk apapun.
Apa yang menjadi persoalan radikalisme dan aksi terorisme ini ada dan menyangkutpautkan agama, khususnya Islam? Banyak hal sebenarnya yang menjadi sumber munculnya radikalisme dan gerakan terorisme dengan membawa-bawa islam. Pertama, memahami islam tanpa dasar yang kuat atau gampang mengafirkan kelompok tertentu. Kedua, memaknai jihad secara tekstual saja. Dua hal tersebut seringkali menjadi sumber utama lahirnya paham radikalisme dan tindakan terorisme. Seakan agama Islam adalah agama yang mudah menjustifikasi kaum tertentu. Islam seolah-olah agama yang menakutkan atau mengerikan. Padahal Islam sangat menghormati perbedaan dengan cara-cara yang lembut. Namun perlu di garisbawahi bahwa tidak selamanya terorisme itu beragama Islam, agama lain pun juga demikian. Seakan hanya orang Islamlah yang menjadi teroris. Padahal tidak seperti itu adanya.
Pertama, memahami Islam tanpa dasar yang kuat. Kerap terjadi ketika individu dan kelompok tertentu menerima informasi, baik itu melalui dakwah atau informasi yang beredar di media sosial. Informasi yang diterima hanya dipahami begitu saja, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut atau proses penyaringan. Hal itu memungkinkan terjadi kesalahpahaman atau ketimpangan dalam mencerna informasi yang didapat. Begitu juga dalam dakwah yang banyak beredar, semestinya juga ada pemfilteran dari apa yang diperoleh dengan metode mengenali dulu atau mencari silsilah latar belakang pendakwah. Apalagi realita yang terjadi sekarang, penceramah atau pendakwah banyak muncul hanya bermodal viral saja. Meski tidak semuanya begitu. Tetapi hal itu perlu diantisipasi sebagai wujud menjaga diri dari kesalahpahaman yang menyebabkan mudah mengafirkan kelompok atau golongan tertentu.
Kedua, memaknai jihad secara tekstual saja. Persoalan semacam ini menjadi akar utama aksi terorisme. Mereka (pengikut radikalisme) memiliki pemahaman bahwa jihad hanya sebatas pada konteks perang saja. Seakan segala persoalan atau permasalahan hanya bisa diselesaikan dengan cara berperang, tanpa memikirkan dampak selanjutnya. Dengan berjihad melalui perang, mereka berasumsi akan mati syahid. Padahal sejatinya, jihad tidak hanya melulu dengan cara berperang. Sehingga, siapapun yang berbeda dari mereka (yang menganut paham radikalisme) harus dibasmi dengan cara berperang. Dan itulah yang digaungkan selama ini oleh penganut radikalisme. Cara berpikir seperti itulah yang ditempuh oleh penganut radikalisme. Berpikir bahwa hanya mereka representasi Islam yang paling benar.
Di sisi lain, perpecahan dan pergolakan itu terjadi bukan hanya karena agama yang dianut. Permasalahan itu juga datang dari persepsi kita sendiri. Sehingga keadaan semakin runyam dan menakutkan. Seharusnya kita sebagai orang bijak tidak boleh memikirkan tentang hal-hal yang pasif seusai kejadian ledakan pemboman tersebut. Sebab ketika kita berpikir bahwa dalang dibalik semua itu adalah salah satu agama yang ada di Indonesia, maka sebenarnya kita sudah masuk dalam misi mereka, yakni ingin memecah belah NKRI. Seakan kita tidak sadar bahwa permasalahan itu timbul akibat mempersepsikan sesuatu atau kejadian dengan cara berlebihan. Semestinya kita sadar, untuk lebih memperteguh dan memperkuat lagi persaudaran antara agama yang satu dengan agama lainnya.
Sebagai penutup dari tulisan ini,
bahwa kejadian atau aksi terorisme dan paham radikalisme tidak ada hubungannya
dengan agama yang dijalankan. Justru para pelaku tersebut gagal dalam memaknai
ajaran-ajaran agamanya yang menyebabkannya menyimpang. Hal itulah yang membuat
perdamaian dan jalinan persaudaraan antar umat beragama terganggu. Yang perlu
ditekankan adalah menyelesaikan suatu problem dengan cara solusi terbaik, yakni
memikirkan dengan matang tanpa harus membenturkan agama tertentu. Agama
sejatinya mempermudah, agama sebagai kebahagiaan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari harus termanifestasikan dalam tiap individu. Dengan harapan dapat
meredam sekaligus membasmi paham radikalisme dan aksi terorisme.
0 Komentar