Dalam menjalani kehidupan yang serba kompleks. Manusia dituntut dapat beradaptasi atau cerdas di setiap lini kehidupan. Hal itu sebagai pegangan sekaligus senjata ampuh bagaimana menjadi manusia yang bisa menempatkan diri tanpa harus terbawa arus (tetap mempunyai pendirian yang tangguh). Sehingga, transformasi yang terjadi tidak sampai menyeret individu ke keabsurdan hidup.
Di tengah pergolakan keadaan dunia yang semakin hari mengalami perubahan drastis. Mulai dari mencuatnya persaingan ekonomi dan kapitalis, melesatnya perkembangan teknologi, serta pengetahuan-pengetahuan baru yang sungguh menakjubkan dan mengundang perhatian khalayak global. Yang semuanya bisa disebut zaman disrupsi, zaman yang serba cepat dan instan.
Apakah kita sadar bahwa adanya zaman yang serba cepat itu menguntungkan atau justru menghilangkan jati diri kita sebagai manusia? Ketika berbicara suatu hal, maka tidak luput dari pembahasan dampak positif dan dampak negatif bagi kita. Mari kita bahas dampak positif dan dampak negatif tersebut.
Pertama, dampak positif era disrupsi. Adanya zaman disrupsi membuat kita dapat menikmati, mengetahui segala hal dengan mudah dan simple. Tanpa harus kesana kemari. Era disrupsi semacam wadah yang mewadahi kebutuhan bagi kita dalam mengakses atau menjangkau sesuatu dengan fleksibel. Misalkan, ketika kita memesan makanan lewat online. Kita hanya perlu memilih, lalu memasukkan dalam keranjang pembelian, setelah itu tinggal bayar dan selesai. Seakan kita hanya cukup duduk, menunggu pesanan datang. Lalu tinggal menyantap dengan damai. Contoh lainnya adalah hadirnya robot yang saat ini sudah bisa menggantikan peranan manusia sehari-hari. Seperti; robot bisa mencuci piring, robot yang bisa membantu para dokter melakukan tes swab, robot yang bisa membantu pemilik kafe mengantarkan pesanan kepada pembeli sekaligus membereskan piring-piring yang sudah kotor.
Kedua, dampak negatif era disrupsi. Salah satunya adalah meningginya angka kemalasan individu. Kalau kita telaah lebih dalam. Ketika kita membiasakan diri melakukan sesuatu dengan serba cepat atau instan (tanpa perlu ada usaha lebih). Maka lambat laun kemalasan akan tumbuh pesat dalam diri kita. Kita seperti dibiasakan melakukan aktivitas dengan tanpa gerak lebih. Sehingga kebiasan-kebiasaan itu akan menimbulkan kenyamanan yang berlanjut. Contohnya, kita malas untuk mencuci piring sebab sudah ada robot yang menggantikan, kita malas memasak sebab sudah ada aplikasi tertentu yang menyediakan makanan siap saji. Bukannya berdampak positif bagi kita, justru malah berdampak negatif.
Namun dari semua itu, apakah kita sadar bahwa ada yang lebih penting untuk digaungkan di era disrupsi ini? Ya meski tidak semuanya sadar akan hal itu, tetapi ketika didiamkan akan berdampak buruk terhadap peradaban kehidupan dunia ke depan. Maka jawaban yang tepat untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia di era disrupsi ini adalah manusia yang saleh spritual dan saleh sosial.
Saleh spritual berarti kemampuan individu dalam mendekatkan rohaninya melalui ibadah kepada Tuhan. Upaya mendamaikan diri dari keriuhan duniawi dengan cara mengedepankan hal-hal yang berbau ibadah kepada Tuhan. Akan tetapi, ketika kita bertanya, mana makna yang pas dalam mengartikan spritual? Tentu jawabannya akan universal. Namun makna 'spritual' sering dikaitkan dengan nuansa ibadah dalam rangka lebih mengenal Tuhannya secara lebih sungguh-sungguh. Di sinilah, hadirnya saleh spritual sebagai penunjang batiniah kita dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kita saat ini hanya sibuk mengejar bagaimana bisa sukses di bidang tertentu atau apapun. Apalagi di masa yang serba cepat seperti sekarang, mengharuskan kita juga gerak cepat, persaingan yang ketat. Walhasil, tidak jarang membuat kita melupakan atau mengesampingkan sisi spritualitas yang ada. Padahal keberadaan spritual menopang atau mendukung jati diri personal menjadi lebih mantap.
Saleh sosial berarti adanya kesadaran pada tiap personal terhadap lingkungan sekitarnya. Saleh sosial dapat diaktualisasikan dengan sendirinya (kesadaran yang tinggi) ketika seseorang tergerak apabila melihat adanya ketimpangan yang menyangkut kemanusiaan. Seakan kemanusiaan sudah menyatu dalam diri individu. Apalagi sejatinya 'manusia' adalah mahluk sosial yang membutuhkan satu sama lain atau saling melengkapi. Seperti saat dihadapkan pada persoalan bencana (banjir, longsor, dan lain-lain). Atau semacam gotong royong, membantu tetangga sekitar yang kesusahan ekonomi, penggusuran sepihak tanpa adanya konsolidasi. Tentunya, hal di atas sangatlah membutuhkan rasa kemanusiaan kita. Segala problem yang berpotensi menggerus eksistensi 'kemanusiaan' haruslah segera dibasmi melalui aksi realistis. Bagaimana yang sebenarnya ketika 'kemanusiaan' berbicara.
Tanpa kita sadari, kesibukan itu dapat melemahkan eksistensi kita sebagai manusia yang dituntut saleh spritual dan saleh sosial. Tidak jarang, kita sampai lupa bagaimana memantapkan spritualitas kepada Tuhan, kita mulai acuh terhadap keadaan sosial sekitar. Pikiran hanya tertuju bagaimana mengembangkan teknologi, mengikuti perkembangan teknologi yang pesat, dan memantapkan pengetahuan seluas-luasnya. Tetapi lupa mengedepankan sisi spritual dan sisi sosial yang sejatinya lebih urgen bagi kita dan kemaslahatan kehidupan ke depan.
Penulis: Mustain Romli
Layouter: Muhammad Syahrul
0 Komentar