Ticker

6/recent/ticker-posts

Pahlawan Tanpa Nama

 

Seperti biasa saat 17-an akan tiba, setiap desa mengadakan perlombaan dan kerja bakti untuk menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Itu sangat membuat jengkel karena pasti mamak akan menyuruhku ke balai Desa untuk kerja bakti. Itulah pemandangan  yang terjadi di tahun-tahun lalu. Meskipun di tahun ini akan berbeda. Semuanya dibatasikarena  penerapan PPKM di perketat. Akan tetapi tetap saja akan ada kerja bakti di Desaku. Rasa malas untuk mengikuti kerja bakti semakin menjadi sehingga aku merengek dan berpura-pura sakit perut. Itulah cara satu-satunya agar terbebas dari hal yang sangat membosankan.

Embun pagi di pekarangan  belakang rumah sangat asri di pandang mata. Embun  bergelantungan  hampir di seluruh  sudut dedauan. Aku yang sedang  asik  berlari-lari kecil di bongkahan pekarangan  rumah.

“Brukkkkk”  bunyi badan ku yang  terjungkal di tarik oleh jari-jari kekar  dangan sangat kuat.Satu tangan menyekap  mulut dan satu lagi menyekap mata ku. Sudahh aku usahakan untuk berteriak sekuat tenaga ku, akan tetapi hanya sia-sia. Mata ku pekat tidak dapat melihat apa-apa  hanya bisa pasrah membiarkan badan ku  di seret oleh seseorang  yang  tak ku kenal.

“Makk, makkkk selamat tinggal anak mu akan  ke surga,  sampai jumpa  di sana mamak!” ucapku didalam hati, air mata pun jatuh bertebaran karna rasa takut dan teringat wajah  garang mamak saat memamrahi ku. Wajah senyum mamak pun berputar-putar di ingatan ku.Tak pernah terpikirkan sebelumnya, aku akan meninggal dengan cara  semengenaskan ini.

Perlahan tubuh ku di lepaskan oleh sesosok bertubuh  kekar. Tubuh ku menggigil ketakutan, meskipun  mata dan mulutku tak lagi di sekap. Masih saja terasa pengap. Ku pandang di setiap pojok ruangan, tak ada sedikitpun cahaya yang masuk  ke ruangan itu. Hanya gelap dan pekat  yang tampak. Nampak sosok kekar dengan wajah beringas lengkap dengan berewok berjejer di wajahnya. Tubuh itu terus mendekat ke arah ku, dan menyergap bahuku.

“Sedang apa kau anak kecil berkeliaran di daerah markas ku, hah!!!!!” dengan nanda tinggi dia menarik baju ku.

“Aa… Aaku hanya bermain saja”. Jawabku dengan nada yang bergetar.

“Jangan mengelak kau bocah,atau akan ku habisi nyawa mu!. Siapa yang mengirim mu ke mari ! kamu mata-mata yang di kirim belanda kan!!!!” nadanya semakin tinggi namun melemah di akhir nafasnya yang terengah-engah seperti menahan rasa sakit.

“Grabakkk” badannya tersungkur tepat di panguanku. Rasa takutku semakain memuncak ketika melihat banyak bercak darah di bagian tubuhnya. Aku panik ketakutan dan berusaha menyingkirkan  badan itu,  untuk keluar mencari bantuan namun di tarik olehnya, dan  melarang ku untuk keluar  dari gubuk tersebut.

“Jangan berani keluar, atau akan ku bunuh kau bocah”.  dengan  suarasangat lemah yang hampir tak terdengar.

“Aaaaaku hanya mau mencari bantuan”.  Ucapku dengan nada bergetar.

“Tak perlu!. Kau tak paham bocah. Aku di sini  bersembunyi dari musuh  yang sedang mencari ku, itu alasan kenapa kau aku sekap”. Dengan bibir yang terlihat dipaksasakan untuk berbicara.

“Paman aku bukan mata-mata aku hanya anak petani biasa dan aku berjanji akan merahasiakan keberadaan paman di sini, aku akan keluar sebentar untuk menggambilkan paman obat agar lekas pulih. Percayalah  pada ku paman”. Ucapku memelas dengan mata berkaca-kaca berharap  untuk di percaya.

Yang dibalas dengan anggukan kepala oleh paman tersebut, sesegera mungkin aku berlari untuk mendapatkan obat. Langsung  ku cari di dapur, berharap ada yang  bisa di jadikan obat. Aku  mencari rempah-rempah yang bisa di jadikan obat.

“Dik!  Apa yang sedang  kamu cari?  Seperti dikejar setan saja.” Suara mamakku  yang membuat aku  kaget.

“Tidak mak aku lagi mencari rempah – rempah yang bisa dijadikan obat untuk mengobati  luka. Tadi Diki menemukan burung yang terluka dan hendak mengobatinya”. Jawab ku berbohong kepada mamak.

“Di belakanng rumah ada daun binahong yang bisa di petik dan kamu haluskan untukmengobati burung tersebut. Oh iya Dik itu singgkong rebusnya di makan dulu, mamak sudah rebus tadi, nanti jika dingin tidak nikmat lagi untuk dimakan. Jangan terburu-buru”, ucap ibu sambil menunjuk ke arah singkong rebus yang tersaji di atas bakul bambu.

Satu per satu aku bungkus dan ku taburi garam di atasnya. Dan kubungkus airminum dengan plastik untuk aku bawa ke pekaranagan rumah bekakang. Bergegas ku bawa apa yang akan dibawa. Diam-diam ku menyelinap ke belaknag rumah, dengan kresek yang berisi obat-obatan, singkong, dan masakan mamak di tangan  ku.  Tak lama kemudian,  aku  sudah sampai di gubuk tadi. Meskipun sudah bertahun - tahun aku hidup baru pertama kalinya aku baru sekarang mengetaui temoat tersebut dan ternyata tak jauh dari rumah ku. Saat tiba di gubuk tersebut, pancaran wajah ceria paman itu sangat jelas meskipun hanya terlihat remang-remang. Perlahan aku obati lukanya sambil ku suguhkan  singkong rebus masakan mamak ku kepadanya. Sambil dia ceritakan apa yang telah terjadi kepadanya.

Ternyata, dia adalah rombongan  gerillya yang melawan penjajah yang kabur dan terkena tembakan  senjata  belanda yang tertinggal dari rombonganya. Sehingga memilih bersembunyi di pekarangan belakang rumah ku. Mendengar cerita paman yang tak mau menyebutkan namanya itu , aku merinding dan tak terasa air mata ku jatuh berkali-kali. Perjuangan yang sangat luar biasa mengorbankan kebersamaan bersama keluarga bahkan mengorbankan nyawanya sendiri. Alasan paman tersebut tidak menyebut namanya karena, dia memilih melepaskan  jati dirinya yang mempunyai banyak keinginan dan memilih fokuspada satu tujuan untuk kemerdekaan. Menurut dia tidak penting namanya terpajang sebagai pahlawan karena banyak sekali rakyat yang berjuang  kemudian gugur. Jadi nama tidaklah penting untuk di ukir menurutnya. Sebagai warga Indonesiadia malu jika darahnya masih saja aman bersemedi di tubuhnya sedangkan  negara  berada di ujung tanduk untuk di rampas.

“Dimedan perang banyak bocah seusiaingin ikut bergabung nak”,  ucapnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut seraya berucap.

“MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA”. Serunya dengan suara yang sangat lantang dan tangan yang di kepal  tanpa gentar. Aku pun mengikuti kalimatnya.

“MERDEKA!!!”. Grubaakkkkk aku terjatuh dari tempat tidur yang di sambut panik oleh mamak ku.

“Diki kenapa nak kok teriak?” ibu tergopoh-gopoh masuk ke kamar dan merangkul tubuh ku dan ku balas dengan gelengan lemas karena belum siap menceritakan mimpi ku yang terasa nyarta.

“Bapak kemana mak” tanya ku.

“Kerja bakti di balai desa le, sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun kemerdekaan negara kita.” Ucap mamak dengan senyum tersungging di wajah teduhnya. Aku terbelajat dari tempat tidurku dan bergegas mencari peralatan untuk kerja bakti menyusul bapak dan warga di balai desa. Dengan semangat aku berjalan sendiri ke balai desa dan ingatan yang masih utuh tentang kejadian di dalam mimpi itu.

Selesai kerja bakti kita semua pulang. Sesampainya dirumah aku langsung mempersiapkan diri untuk mengikuti perlombaan di balai desa 2 hari lagi. Melihat semangat ku yang sangat terbakar mamak sepertinya sangat heran.

“Apa yang membuat kamu begitu semangat le? bukannya kamu sakit?” tanya mamak ku dengan heran. Perlahan aku mengajak mamak dan bapak ke ruang tamu dan menceritakan mimpi ku yang terasa sangat nyata itu.

“Hahahaha….”suara gelak tawa keluarga ku saat ku ceritakan mimpi yang membuat ku rajin dan bersemangat untuk mengenang semua jasa para pahlawan.

Sebagai warga negara Indonesia yang bijak, kita harus senantiasa merawat, menjaga, serta melestarikan apa yang telah di perjuangkan oleh para pahlawan sebagai bentuk mengenang jasanya. Kita sebagai pemuda harus tetap semangat menggali ilmu sebnayak-banyaknya karena kita yang akan menjadi peminpin di masa mendatang.

 

Penulis: Ayu Andila

Layouter: Rohim

Posting Komentar

0 Komentar